Ini adalah tulisan keempat saya di blog yang membahas
tentang Filsafat Islam. Tulisan kali ini membahas tentang salah satu biografi
seorang filsuf muslim yang pernah ada. Kali ini saya akan mengambil contoh
seorang filsuf muslim yang bernama Ibnu Miskawaih.
Nama lengkap
Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih. Ia
lahir di Rayy (Teheran,
ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun
320 H/932 M dan wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421
H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya
bermazhab Syi’ah.
Puncak prestasi kekuasaan Bani
Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H,
perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar,
sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Miskawaih muncul
sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi keberhasilan
politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan
ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik
dikalangan elit, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Miskawaih
untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman
raja ‘Adhudiddaulah, Ibnu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja
karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar, disamping
sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan.
Dari segi latar belakang
pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci.
Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad
Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari
kimia dari Abu Tayyib. Namun, Ibnu Miskawaih lebih terkenal dalam bidang
filsafat dibandingkan dengan ilmu yang lain, apalagi karya beliau yang sangat
terkenal adalah tentang pendidikan dan akhlak. Dalam bidang pekerjaan Ibnu
Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik
anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga
banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya
Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu
Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang
kemasyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari. Lalu ia juga dikenal
sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dalam berbagai
bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku
dan artikel.
Ibnu Miskawaih adalah seorang yang
tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu baru.
Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik
anak-anak pejabat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa Ibnu Miskawaih
dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin
al-Tsalits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin
al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal
) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan
dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq (pendidikan
budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu
Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam,
dan pengalaman pribadi.
Ibn
Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis
produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang
dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut :
·
Al Fauz al Akbar
·
Al Fauz al Asghar
·
Tajarib al Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
·
Uns al Farid (Koleksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
·
Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
·
Al Mustaufa (tentang syair-syair
pilihan)
·
Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
·
Al Jami`
·
Al Siyab
·
Kitab al Ashribah
·
Tahzib al Aklaq
·
Risalat
fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
·
Ajwibat wa As`ilat fi
al Nafs wa al `Alaq
·
Thaharat
al Nafs
dan lain-lain.
Sama dengan
para tokoh islam yang lain, pemikiran Ibnu Miskawaih juga sangat bermanfaat
untuk manusia pada umunya dan umat Islam pada khususnya. Namun pemikiran beliau
adalah :
1. Metafisika
a.
Ketuhanan
Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan
Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak
mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa
diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain. Sementara yang lain
membutuhkan-Nya.
b. Emanasi
Sebagaimana Al-farabi, Ibnu Miskawaih juga menganut faham Emanasi yakni
Allah menciptakan alam secara pancaran, namun Emanasi nya ini berbeda dengan
Emanasi Al Farabi. Menurut nya entitas pertama yang memancarkan dari Allah
ialah ‘aql Fa’al’ ( akal aktif ). Akal aktif ini timbullah
jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak).
Pancaran yang terus-menerus dari Allah dapat memelihara tatanan alam ini.
Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemajuan dalam alam
ini.
c. Tentang Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian
secara Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof
dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara akal dan wahyu. Menurut Ibnu Miskawaih,
nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran
seperti ini juga diperoleh oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak
pada teknik memperolehnya.
d. Tentang Jiwa
Para filsuf Islam memandang jiwa merupakan sesuatu yang
mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia. Pada manusia itu terdapat materi tubuh dan jiwanya. Sedangkan tubuh dan jiwa itu mempunyai perbedaan.
2. Dasar-dasar Etika
a. Pengertian
Akhlak
Akhlak menurutnya adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku
manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur
kebiasaan dan latihan.
b. Kebahagiaan (Sa’adah)
Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah
(kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi
seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah
kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada
orang per-orang
c. Pendidikan
Akhlak
Dalam
karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material
dalam kontek moral seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan-persoalan
yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan
perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia. Dari beberapa uraian
diatas memberikan konsekuensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya
merupakan hal yang wajib dipelajari di dalam pendidikan moral/akhlak,
seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya
diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih bermamfaat
ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial di penerapannya dalam hubungan
sosial.
Komentar
Posting Komentar